Senin, 19 Desember 2016

Berita halaman 1 atau halaman “antah berantah”? Mengenal Framing (2)



Framing bukan hanya sebatas pada pemotretan seperti dibahas pada artikel sebelumnya. Framing bahkan (lebih) banyak terjadi pada pemberitaan, baik yang dicetak (printed) maupun disiarkan (broadcast). 

Framing terjadi atau dilakukan pada hampir semua bagian berita, mulai dari judul, lead, paragraf-paragfar lainnya (terutama paragraf terakhir), foto, teks foto, bahkan ukuran berita dan penempatan beritanya.

Mari kita lihat satu per satu. 

Berita di halaman 1 sebuah koran, tentu beda efeknya dibanding berita di halaman dalam pada koran yang sama, kan? Berita di halaman 1 memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk dibaca dibanding berita di halaman dalam. Ia lebih mudah ditemukan dibanding berita di halaman dalam. Seringkali ia dimuat secara berwarna yang menambah daya tariknya dibanding berita di halaman dalam yang, biasanya, hitam putih. Pun demikian dengan siaran televisi (dan radio) maupun berita di situs-situs berita online. Berita utama biasanya ditayangkan dalam program current affairs sore/petang hari. Asumsinya, lebih banyak pemirsa yang menonton siaran berita di jam-jam tersebut dibanding, misalnya, current affairs yang ditayangkan tengah malam atau pagi buta.  Di media online, orang akan cenderung untuk mengklik berita yang dipampang di bagian atas atau masuk dalam kategori “terpopuler” atau “terkomentari”. Biasanya ada peran kru newsroom yang membuat sebuah berita dipampang di bagian atas atau tidak. 

Jadi, peletakan sebuah berita saja sudah menunjukkan keberpihakan. Ia sudah mengindikan adanya tujuan tertentu.

Sekarang mari bicara soal ukuran. Di koran, berita yang terpampang seluas 5 kolom dengan judul besar, secara umum lebih menarik dibanding berita yang hanya dua kolom dengan judul ukuran kecil. Di televisi, sebuah berita yang diselipi wawancara khusus mengenai topik itu tentu lebih menarik dibanding berita yang hanya sekali siar saja. Apakah peletakan berita A menjadi 5 kolom dan berita B hanya 2 kolom adalah kebetulan? Apakah keputusan menjadikan topik X dilengkapi wawancara khusus sementara topik Y hanya voice over belaka terjadi secara acak? Tentu tidak. Semuanya terencana. Disengaja. Ada tujuannya. Ada efek yang ingin diraih. 

Yuk sekarang kita bicara tentang konten berita. Pernahkah kamu bertanya mengapa peristiwa 411 di koran A didominasi pernyataan orang yang sepakat dengan aksi tersebut, sementara berita di koran B didominasi komentar orang-orang yang kontra terhadap aksi tersebut? 

Teman, berita tidak muncul dari ruang hampa. Ia bukan produk simsalabim. Ia dibuat, direncanakan. Ketika redaksi mendengar sekelompok orang akan menggelar aksi 411, misalnya, mereka langsung berpikir: angle apa yang akan dipilih? Angle adalah sudut pandang redaksi atas peristiwa atau orang, atau hal yang mereka liput.  Redaksi bisa memilih mendukung aksi 411, menentangnya, atau abstain. Redaksi bisa menganggap aksi itu sebagai ekspresi demokratis warga negara yang dilindungi konstitusi, bisa juga menganggapnya sebagai upaya menekan lembaga peradilan, bisa juga dipandang dari angle yang berbeda lagi. 

Nah, angle ini menentukan nara sumber yang akan diwawancarai. Mengapa A, B, C yang diwawancarai? Mengapa bukan D, E, dan F? Kalau pun mereka mewawancarai A, B, C, D, E, dan F yang berbeda pendapat, kita akan lihat lebih lanjut: pendapat siapa yang dikutip lebih banyak? Pendapat siapa yang dijadikan judul? Pendapat siapa yang hanya dikutip sekilas? 

Yang penting diperhatikan juga, pendapat siapa yang ditulis secara utuh? Pendapat siapa yang dipotong sehingga maksudnya bisa berbeda dari yang diniatkan oleh si nara sumber? 

Teman-teman, semua rangkaian praktik ini adalah framing. Pembingkaian. Hasil dari semua proses ini akan membuat konsumen media disuguhi “hal yang sama” “secara berbeda”. Pendapat kita sangat mungkin akan terpengaruh oleh pilihan berita yang kita baca. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar