Framing bukan hanya
sebatas pada pemotretan seperti dibahas pada artikel sebelumnya.
Framing bahkan (lebih) banyak terjadi pada pemberitaan, baik yang dicetak (printed) maupun disiarkan (broadcast).
Framing terjadi atau
dilakukan pada hampir semua bagian berita, mulai dari judul, lead,
paragraf-paragfar lainnya (terutama paragraf terakhir), foto, teks foto, bahkan
ukuran berita dan penempatan beritanya.
Mari kita lihat satu per
satu.
Berita di halaman 1
sebuah koran, tentu beda efeknya dibanding berita di halaman dalam pada koran
yang sama, kan? Berita di halaman 1 memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk
dibaca dibanding berita di halaman dalam. Ia lebih mudah ditemukan dibanding
berita di halaman dalam. Seringkali ia dimuat secara berwarna yang menambah
daya tariknya dibanding berita di halaman dalam yang, biasanya, hitam putih.
Pun demikian dengan siaran televisi (dan radio) maupun berita di situs-situs
berita online. Berita utama biasanya ditayangkan dalam program current affairs sore/petang hari.
Asumsinya, lebih banyak pemirsa yang menonton siaran berita di jam-jam tersebut
dibanding, misalnya, current affairs
yang ditayangkan tengah malam atau pagi buta. Di media online, orang akan cenderung untuk
mengklik berita yang dipampang di bagian atas atau masuk dalam kategori “terpopuler”
atau “terkomentari”. Biasanya ada peran kru newsroom yang membuat sebuah berita
dipampang di bagian atas atau tidak.
Jadi, peletakan sebuah
berita saja sudah menunjukkan keberpihakan. Ia sudah mengindikan adanya tujuan
tertentu.
Sekarang mari bicara soal
ukuran. Di koran, berita yang terpampang seluas 5 kolom dengan judul besar, secara
umum lebih menarik dibanding berita yang hanya dua kolom dengan judul ukuran kecil.
Di televisi, sebuah berita yang diselipi wawancara khusus mengenai topik itu
tentu lebih menarik dibanding berita yang hanya sekali siar saja. Apakah peletakan
berita A menjadi 5 kolom dan berita B hanya 2 kolom adalah kebetulan? Apakah
keputusan menjadikan topik X dilengkapi wawancara khusus sementara topik Y
hanya voice over belaka terjadi
secara acak? Tentu tidak. Semuanya terencana. Disengaja. Ada tujuannya. Ada
efek yang ingin diraih.
Yuk sekarang kita bicara
tentang konten berita. Pernahkah kamu bertanya mengapa peristiwa 411 di koran A
didominasi pernyataan orang yang sepakat dengan aksi tersebut, sementara berita
di koran B didominasi komentar orang-orang yang kontra terhadap aksi tersebut?
Teman, berita tidak
muncul dari ruang hampa. Ia bukan produk simsalabim. Ia dibuat, direncanakan.
Ketika redaksi mendengar sekelompok orang akan menggelar aksi 411, misalnya,
mereka langsung berpikir: angle apa
yang akan dipilih? Angle adalah sudut
pandang redaksi atas peristiwa atau orang, atau hal yang mereka liput. Redaksi bisa memilih mendukung aksi 411, menentangnya,
atau abstain. Redaksi bisa menganggap aksi itu sebagai ekspresi demokratis
warga negara yang dilindungi konstitusi, bisa juga menganggapnya sebagai upaya
menekan lembaga peradilan, bisa juga dipandang dari angle yang berbeda lagi.
Nah, angle ini menentukan nara sumber yang akan diwawancarai. Mengapa A,
B, C yang diwawancarai? Mengapa bukan D, E, dan F? Kalau pun mereka
mewawancarai A, B, C, D, E, dan F yang berbeda pendapat, kita akan lihat lebih
lanjut: pendapat siapa yang dikutip lebih banyak? Pendapat siapa yang dijadikan
judul? Pendapat siapa yang hanya dikutip sekilas?
Yang penting diperhatikan
juga, pendapat siapa yang ditulis secara utuh? Pendapat siapa yang dipotong
sehingga maksudnya bisa berbeda dari yang diniatkan oleh si nara sumber?
Teman-teman, semua
rangkaian praktik ini adalah framing. Pembingkaian. Hasil dari semua proses ini
akan membuat konsumen media disuguhi “hal yang sama” “secara berbeda”. Pendapat
kita sangat mungkin akan terpengaruh oleh pilihan berita yang kita baca. (*)
Sumber foto: Reuters/Beawiharta,
diunduh dari http://kabar24.bisnis.com/read/20161109/16/600745/dituding-fitnah-presiden-dalam-aksi-411-fahri-hamzah-dilaporkan-ke-polisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar