Selasa, 05 Februari 2019

Elit dan Massa (4 - Habis)

Apa, sih, pekerjaannya elit itu? Pekerjaan elit adalah mengkondisikan pendukungnya. Elit mendapatkan keuntungan dari mengkondisikan pendukungnya. Makin sukses dia dalam mengarahkan pendukungnya, makin besar keuntungan ia raih. Makin "berisik" pendukungnya, kemungkinan makin kuat posisi si elit.


Pendukung yang berisik gampang dijual dengan kecap "Pendukung saya banyak, lo!" Organisasi karyawan/buruh, misalnya. Makin berisik para buruh itu, makin kuat posisi elit buruh. Buruh-nya mungkin luka-luka disepak polisi, hatinya juga tersayat disumpahin netizen yang maha benar. Bagaimana dengan elit buruh? Dia tinggal bilang, "Mau saya diemin gak anak-anak ini atau saya biarkan?"



Mendiamkan (membuat jadi diam) buruh yang "berisik" tentu tidak gratis. Cilok saja bayar. Bayarannya tidak harus uang. Mungkin proyek. Mungkin jabatan. Mungkin dilupakannya kesalahan masa silam. Nah, yang bisa didiamkan bukan hanya buruh, tapi juga jamaah, jemaat, simpatisan, hingga preman. Pihak yang paling mampu mendiamkan massa akan muncul menjadi elit paling berkuasa.

Apakah massa tidak bisa melawan elit? Apakah massa tidak bisa menjungkalkan elit? Bisa, sih, tapi memang tidak mudah. Seperti ditulis di post terdahulu, para pemilik media massa adalah contoh elit. Pemilik stasiun TV, misalnya, darimana mereka dapat duit? Dari iklan. Kenapa pemilik produk mau bayar iklan di stasiun TV yang harganya --buat ukuran kita, si bekas cipirit yang tak terjangkau tisu ini-- super mahal? Karena iklan itu diyakini dilihat banyak orang dan sebagiannya mungkin akan terbujuk, akan beli produk yang diiklankan. Kenapa pemilik iklan begitu yakin? Ya karena kita BENERAN masih nonton acara-acara TV itu.



Sinetronnya kita hujat, katanya membodohkan, tapi tetap ditonton. Talkshow-nya kita bilang sampah, tidak imbang, tapi tetap ditonton. Selama kita masih menonton acara-acara itu, maka Nielsen tetap mencatat acara-acara itu punya rating yang bagus. Kalau rating bagus, iklan datang. Kalau iklan datang, pemilik TV akan makin kaya. Jadi bagaimana melawan elit pemilik media? Ya jangan pakai medianya. Jangan tonton sinetronnya. Jangan tonton talkshow atau acara apa pun yang menurut Anda membodohkan itu. Tapi kan garing gak nonton televisi?
Yah, kan bisa main gaple atau karambol?
Atau baca Al Qur’an?
Atau bantuin anak ngerjain pe-er?
Atau aktif di kegiatan er te?


Sumber ilustrasi: http://aceh.tribunnews.com/2018/11/07/6-fakta-baru-penangkapan-habib-rizieq-shihab-oleh-pihak-keamanan-arab-saudi; https://tirto.id/sbsi-akan-kerahkan-2-ribu-buruh-demo-di-tanjung-priok-saat-may-day-cJxs; https://www.hipwee.com/motivasi/11-alasan-kenapa-kamu-harus-matikan-tv-mu-saat-ini-juga/; Hasanudin Abdurakhman/https://edukasi.kompas.com/read/2016/05/24/15483201/dampingi.anak-anak.kita.belajar

Elit dan Massa (3)

Ada dua jenis utama hubungan antar-elit, yakni kerja sama dan kompetisi. Mereka hanya berkompetisi bila kerja sama tidak memungkinkan. Bahkan, dalam banyak kasus, kompetisi antar-elit adalah bagian dari kerjasama mereka yang lebih besar. Pemilik media (elit 1) butuh bantuan anggota DPR (elit 2) dan pemerintah (elit 3) agar monopoli-nya tidak diutak-atik. Karena itu, ada pemilik media yang punya sekian koran, sekian media online, sekian stasiun radio, dan sekian stasiunTV dan bebas-bebas saja membentuk opini kita hingga saat ini. Bantuan elit 2 dan 3 kepada elit 1 tentu tidak gratis. Makan di warteg saja mbayar. Ya, kasihlah potongan harga untuk iklan-iklan politik mereka yang muncul di TV-nya, atau media online-nya, atau korannya. Atau, ya buatlah program yang sepertinya berita, tapi sebenarnya ya sarana promosi untuk si elit 2 atau elit 3. Itu baru hubungan antara elit 1, 2, dan 3. Padahal jenis elit banyak, kan? 



Massa yang kritis sangat dibenci elit. Massa yang kritis membuat elit harus memenuhi janjinya karena mereka dengan rajin mencatat janji para elit dan tanpa lelah menagihnya. Massa yang kritis membuat elit harus berprestasi baik karena mereka siap mendukung elit lain bila elit yang ia dukung dulu ternyata tidak berprestasi atau ketahuan belangnya.


Massa yang kritis bisa membuat elit bisa terlempar dari orbit elit dan menjadi rakyat jelata. Karena salah satu dari massa yang kritis itu yang kemudian jadi elit baru. Sebaliknya, massa yang mendukung secara membabi buta adalah yang paling disuka oleh para elit. Massa jenis ini tidak bertanya macam-macam. Lebih penting lagi, massa jenis ini mudah diarahkan, diperjualbelikan, dan dijadikan bahan ancaman. "Kalau tidak begini, massa saya akan berbuat begini lo kepada Anda!"

sumber ilustrasi: https://www.quora.com/How-would-you-describe-each-of-the-media-companies-in-Indonesia-Which-one-should-I-trust; http://www.swamedium.com/2018/02/02/semprit-dan-kartu-kuning-bem-ui-untuk-jokowi/; https://musicalhegemony.files.wordpress.com/2015/05/civil-society.jpg

Elit dan Massa (2)

Kepentingan. Inilah yang diperjuangkan para elit (dan sebagian massayang sadar) melalui kontestasi politik. Kepentingan siapa? Yang jelas, kepentingan pihak yang berkompetisi itu. Bukan kepentingan masyarakat? Bisa jadi, terutama bila kepentingan masyarakat itu "pas" dengan kepentingan pihak yang berkompetisi tersebut. Nah, karena masyarakat itu begitu luas dan begitu banyak, kepentingan mereka pun buanyak dan beragam. Dengan begitu, elit menjadi mudah. Ambil yang ini, dipoles sedikit, tampak seperti kepentingan (sebagian) masyarakat. Ambil yang itu, dipoles sedikit, tampak seperti kepentingan (sebagian) masyarakat yang lain lagi. Yang bisa dilakukan masyarakat adalah meneliti sungguh-sungguh, apakah klaim elit itu memang kepentingan mereka? Kalau bukan, mereka tidak boleh lelah menyuarakan kepentingan mereka sampai didengar dan disuarakan oleh para elit itu. Atau, jadilah elit itu sendiri.

Apa yang di mata massa tampak seperti kompetisi, bisa jadi adalah bagian dari kerjasama antar-elit. Misalnya, sebuah pilgub ada tiga calon. Salah satu calon kalah di putaran pertama. Dia bisa jualan "suara pendukung"-nya kepada dua kandidat yang tersisa. Atau, bisa jadi ada sebuah pilpres yang calonnya hanya satu, tapi karena sistem Pemilu-nya mensyaratkan adanya kompetisi, maka dicarilah lawan. Menang atau kalah, si lawan ini sudah menang, hehehe. Dia takkan maju tanpa “dapat apa-apa”, kan?


Transaksi bahkan bisa dilakukan sejak kompetisi belum benar-benar dimulai. Anggaplah ada sebuah pilwali dengan dua kandidat, A dan B. A yakin bisa mengalahkan B. Lalu, muncullah si C, koar-koar akan ikut pilwali juga. Si C ini basis massanya tidak besar. Kalau ikut pilwali pasti kalah. Tapi, karena basis masa di C dan si A sama, kehadiran C bisa membuat A kalah karena suara basis massa mereka bisa terpecah. Maka, A membujuk si C agar membatalkan niatnya ikut pilwali. Tidak gratis dong. Tahu bulat aja bayar. 

Elit dan Massa (1)

Di semua masyarakat dan komunitas-komunitas dalam masyarakat itu, selalu ada dua kelompok: elit dan massa. Elit itu jumlahnya sedikit namun menguasai banyak sumber daya. Elit biasanya didengarkan dan memiliki kemampuan mengarahkan. Massa jumlahnya besar namun memiliki sumber daya yang sangat terbatas. Mereka biasanya objek yg diarahkan. Jokowi dan Prabowo itu elit, saya dan yang baca status ini, kemungkinan besar, massa.


Tengkulak itu elit, para petani yang disandera dengan utangnya adalah massa. Ahmad Dhani Prasetyo itu elit, mereka yang sibuk mengecam atau asyik bersorai atas dipenjaranya dia, pastilah massa.



Elit dan massa, meski berada di kelompok yg sama, biasanya tidak berhubungan secara intensif. Jokowi paling dadah-dadah pada warga yang menunggunya di pinggir jalan. Serena Williams hanya foto bareng atau berbagi tanda tangan untuk fansnya. Mengapa? Karena elit cenderung berhubungan dengan elit lain dari kelompok yang berbeda. 

 



Elit adalah kelompok kecil yang sangat berdaya dan berpengaruh. Sumber yang membuat mereka berdaya dan berpengaruh macam-macam, mulai dari kekayaan, posisi di pemerintahan, posisi di masyarakat, posisi di struktur atau kelompok keagamaan, posisi di kemiliteran, kepemilikan atas sumber informasi, kemampuan dalam mempengaruhi pikiran masyarakat, dan lainnya. Sebagian elit memiliki lebih dari satu sumber yang membuat mereka sangat berdaya dan berpengaruh. Jokowi mungkin tidak kaya-kaya banget, tapi dia presiden (posisi birokratis tertinggi). Prabowo mungkin mulai berkurang kekayaannya (atau meningkat?), tapi dia tetap kaya dan kenal orang-orang penting. Harry Tanoe menguasai media dan media sangat potensial mempengaruhi pikiran masyarakat. Kiai, pastur, pendeta dan para pemuka agama punya kemampuan mengarahkan. Jangan heran kalau semua calon presiden ramai-ramai mendekati mereka tiap pilpres menjelang. Para pemuka agama itu adalah elit. Nah, orang-orang yang bisa membiayai kampanye para capres, tentunya elit juga. Elitnya elit, bahkan.




sumber ilustrasi: https://en.tempo.co/read/1160227/pdip-politician-idolizes-jokowi-prabowo-friendship; http://wartakota.tribunnews.com/2018/11/26/ahmad-dhani-dituntut-dua-tahun-penjara-terkait-kasus-ujaran-kebencian; https://sports.inquirer.net/165107/china-open-serena-williams-fights-back-cilic-also-through; http://kaltim.tribunnews.com/2019/02/03/viral-kyaimaimoendoakanprabowo-begini-suasana-pertemuan-jokowi-prabowo-saat-bertemu-mbah-moen

Panggung Politik

Pernahkah Anda menonton konser atau pertunjukan drama? Di bagian depan, panggung terlihat rapi. Para pemain tampil dengan memukau. Lampu menyorot mereka, memberi kesan dramatis. Para penampil tampil dalam karakter lakon mereka. Penyanyi tampak memukau dalam konser mereka.


Cobalah menyelinap ke belakang panggung. Kabel-kabel terolor tidak karuan. Kaos-kaos penuh peluh berserakan di mana-mana. Di banyak bagian ada tumpahan nasi kotak yang dimakan tergesa-gesa. Seorang pemain yang di panggung depan jadi raja, sedang dimarahi oleh sutradara karena melakukan akting yang tidak seharusnya. pembawa acara yang di depan panggung begitu enerjik dan lucu, di belakang panggung kelelahan dan perlu oksigen tambahan. Di balik pameran mobil luar biasa, ada mereka yang makan ala kadarnya di belakang panggung.








Politik pun demikian. Yang kita lihat di TV, yang diberitakan di koran, itu adalah panggung depan. Panggung yang sudah dikondisikan. Sudah dirancang. Yang asli ada di panggung belakang. Tidak semua orang punya akses ke panggung belakang ini. Jadi kalau hanya dapat info dari media, apalagi yang abal-abal, tidak udah langsung meyakininya sebagai sebuah kebenaran. Apalagi pakai bertengkar dan unfriend segala, hahaha. 

Sumber ilustrasi: http://banjarmasin.tribunnews.com/2016/04/26/lihat-kehidupan-host-acara-di-belakang-panggung-irfan-hakim-sampai-hirup-oksigen; https://ekonomi.kompas.com/read/2016/04/13/150511630/.Damainya.Suasana.di.Balik.Panggung.Megah.IIMS; https://foto.tempo.co/read/45547/kesibukan-belakang-panggung-paris-fashion-week#foto-2

Hegemoni (2)

Salah satu contoh hegemoni paling jelas, sekaligus paling jarang disadari, adalah pemahaman bahwa wanita cantik itu (dalam konteks Indonesia) adalah berkulit putih. Banyak wanita, dari remaja hingga ibu-ibu, begitu berhasrat agar kulitnya putih. Paling tidak, sedikit lebih terang. Paling tidak putih wajahnya kalau memang tidak bisa sekujur badan.




Maka, beragam produk yang membantu agar wajah dan tubuh lebih putih pun laku keras. Dari produk impor hingga produk bikinan tetangga sendiri. Dari yang harganya jutaan, sampai produk berharga murah dan bisa diutang. Dari yang jelas nomor BPOM-nya hingga yang kita percayai begitu saja. Pokoknya bisa lebih putihlah.





Nah, siapa yang diuntungkan?

Pembuat produk, tentunya. Selama wanita Indonesia masih ingin putih, produk-produk itu akan tetap laku. Keuntungan tetap mengalir pada produsennya.

Media massa, tempat produk-produk itu diiklankan, tentu juga menangguk keuntungan.

Para artis, seleb, dan endorser (yang putih dari lahir, bukan karena pakai produk) juga sangat diuntungkan. Mereka di-hire mulai jadi bintang iklan, endorser, hingga brand ambassador.

Lantas, siapa yang buntung? Ya para wanita (sekarang termasuk pula pria) yang begitu terobsesi menjadi putih, lupa bahwa emak-bapaknya sawo matang atau bahkan biji kopi sangrai. Juga para pasangan yang dimintai dana untuk membeli produk-produk pemutih ini 😁. Yang buntung adalah kita yang ketika kulitnya agak gelapan sedikit udah langsung sedih, cemas, bingung dan minder.

Inilah hegemoni. Pihak yang kuat akan selalu mendengung-dengungkan cantik itu putih. Dengan cara itulah mereka mendapat dan memelihara keuntungannya.

Promosi dan kampanye serupa dilakukan di belahan dunia yang lain. di negara-negara yang mayoritas penduduknya berkulit putih, misalnya, warganya dibombardir dengan pemahaman bahwa kulit putih itu buruk. Puti itu pucat. Putih itu tidak menarik dan tidak sehat. Kulit sehat itu yang tan, yang gelap. Maka produk-produk tanning pun mendapatkan pasar yang baik di negara-negara ini. Intinya, masyarakat (konsumen, pasar) dibuat tidak puas dengan kondisi mereka, karena dengan cara itulah mereka bisa lebih mudah mempromosikan produknya. 

Demikian pula dengan cantik itu langsing. Demikian pula dengan gagah itu ya yang six pack dan berotot. Masih ingat iklan ini, kan?


Keyakinan ini membuat para pria mengeluarkan lebih banyak dana buat nge-gym, makan oat yang lebih mahal dari nasi, minum susu yang meningkatkan massa otot, menjalani diet keto dan lainnya. Bisa jadi, mereka yang bangga dan mensosialisasikan "buncit is the new sexy" sedang melawan hegemoni ini. Mereka yang komennya fokus ngomongin saya dan bagian akhir tulisan ini, bisa jadi masih terhegemoni 😂😂😂

sumber ilustrasi: http://kaltim.tribunnews.com/2018/04/24/bahan-alami-di-dapur-ini-bisa-bikin-kulit-putih-dalam-semalam; https://my.carousell.com/p/produk-pemutih-181966180/?hl=en; http://krimpemutihbaru.blogspot.com/2014/04/tje-fuk.html; https://www.sk-ii.com.my/en/product.aspx?name=whitening-source-clear-lotion&from=whitening

Hegemoni (1)

Pernahkah Anda bertanya mengapa seorang majikan memanggil asisten rumah tangganya (ART) langsung dengan namanya (bahasa Jawa: njambal), sementara sang ART selalu memanggil majikannya (adakah istilah lain yg lebih pas dan enak?) dengan panggilan hormat seperti Pak atau Bu? Di masa yang lebih lalu, saat itu ART disebut pembantu, sang ART bahkan memanggil majikannya dengan sebutan "ndoro". Si majikan wanita kadang dipanggil "nyonya" dan anak sang majikan dipanggil "raden" atau "den". Misalnya, baca di novel ini:



Si pembantu tidak pernah protes. Masyarakat pun tidak pernah memprotesnya. Bahkan mungkin membahasnya atau menganggapnya janggal pun tidak. Mereka menerimanya sepenuh hati. Teman2, inilah hegemoni. Penguasaan satu kelompok yang lebih kuat terhadap kelompok lain yg lebih lemah dengan dukungan norma dan pranata sosial. Makin tidak disadari adanya hegemoni ini, makin kuat cengkeramannya.

"Salim" kepada kiai, guru, orangtua, atau pihak lain yg kita anggap lebih dari diri kita (lebih tua, lebih pintar, memiliki kelas sosial lebih tinggi dan lainnya) adalah hehemoni juga. Kita langsung merasa tidak enak, seolah ada yg kita langgar, saat kita tidak salim ke kiai. Kita akan dipersepsi sebagai anak kurang ajar saat menolak salim kepada guru. Perasaan tidak dari dalam diri kita dan persepsi negatif dari lingkungan sekitar ini berasal dari internalisasi norma-norma yg sudah begitu kuat menguasai kita.



Salim ini bahkan berlaku pula di kalangan orangtua dan politisi. Di sini langsung terlihat siapa yang saat itu berposisi lebih kuat. "Saat itu" lo ya, karena politik itu cair dan petanya bisa berubah setiap saat.


Takut mengkritik Pemerintahan Jokowi, jangan-jangan adalah sebentuk hegemoni pula. Kita dibuat untuk percaya bahwa pemerintahan ini sangat baik, bahwa Jokowi sudah melakukan semua yang ia bisa dengan tulus untuk kebaikan seluruh rakyat Indonesia, dan karena itu mengkritik dia dan pemerintahannya menjadi hal yang "ora umum". Hal yang membuat pengkritiknya bisa dilabeli "tidak tahu terimakasih", "tidak tahu diri" dan label-label buruk lainnya. Ini adalah hegemoni. Setidaknya, benih-benih hegemoni.

Bahkan figur seterkenal dan lumayan memiliki kapital sosial seperti Sujiwo Tejo pun mengaku mulai takut mengkritik Jokowi karena para pendukung die-hard-nya akan langsung bereaksi.

Benih hegemoni (atau sudah merupakan hegemoni?) ini sangat kuat. Ini karena kelompok yang terhegemoni besar jumlahnya dan lantang bersuara. Mempertanyakan keabsahan, efektivitas, bahkan ketepatan sebuah kebijakan dalam pemerintahan Jokowi berisiko diserang bukan (saja) oleh Jokowi atau aparatus yang menjadi fokus kritik, namun oleh masyarakat pendukung Jokowi. Seolah kritik kepada aparatus pemerintahan Jokowi adalah kritik langsung kepada Jokowi itu sendiri yang langsung direspon dengan pembelaan.

Syukurlah masih ada orang dan kelompok yg mau dan berani mengkritik Jokowi hingga hegemoni ini tidak terlalu cepat mengkristal. Tentu kritikus ya, atau warga negara yang secara tulus mengritik, bukan kelompok "asal bukan Jokowi" atau "pokoknya Jokowi salah". Kelompok yang sedikit-sedikit salah Jokowi, atau segala ketidakberesan pastilah karena Jokowi, dan pokoknya Jokowi harus diganti adalah kelompok yang sudah terhegemoni pula, hanya saja hegemon-nya berbeda.

sumber ilustrasi:http://www.femina.co.id/article/pengakuan--eks-parasit-lajang;  http://www.tribunnews.com/nasional/2018/06/04/ini-alasan-gatot-nurmantyo-cium-tangan-sby; https://indonesiana.tempo.co/read/89702/2016/09/20/andrew.prasatya/relasi-kuasa-di-balik-cium-tangan

Kamis, 31 Januari 2019

Apakah blog pasti tidak kredibel?

Apakah blog, atau laman tulisan pribadi, sudah pasti tidak kredibel? Belum tentu. Dalam kondisi tertentu, sebuah blog memiliki potensi kredibilitas yang lebih tinggi dari lembaga media. Ini misalnya: https://lawprofessors.typepad.com/antitrustprof_blog/
Blog yang ditulis seorang ahli bidang A yang berbicara tentang A, seringkali lebih bernas dan lebih dalam saat berbicara isu A dibanding lembaga media yang pada dasarnya tidak memiliki kru yang ahli di bidang A. Lembaga media memang tidak harus memiliki keahlian spesifik di satu bidang. Keahlian spesifik yang harus dimiliki lembaga media adalah kemampuan memahami isu, menggali data, memverifikasi, dan kemampuan bahasa yang baik.
Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa pada dasarnya blog bekerja di area spesifik, lembaga media bekerja di area umum. Ketika seorang ahli A berbicara tentang isu di luar A atau tidak terkait dengan A, kewaspadaan kita sebagai audiens harus ditingkatkan. Benarkah yang ia katakana (tulis)? Apakah kredibel?
Nah, kita perlu membedakan blog dengan blogspot. Blog pada dasarnya adalah laman ekspresi pribadi. Ada yang fokusnya bicara tentang area penelitian si blogger (biasanya akademisi, ahli), fokus perhatian si blogger (misalnya politisi), area pekerjaan si blogger, dan hobi si blogger. Belakangan, sejumlah lembaga menjadikan blog sebagai platform pilihan untuk menyampaikan informasi terkait mereka, aktivitas dan produk-produknya.
Blogspot tidak sama dengan blog. Blogspot adalah platform yang memungkinkan individu atau lembaga untuk membuat blog. Banyak platform lain yang menyediakan servis yang sama, wordpress salah satunya.
Sekarang kita melihat cukup banyak lembaga media --lembaga yang menyiarkan berita, terlepas sudah diverifikasi Dewan Pers atau tidak-- menggunakan blogspot sebagai platformnya. Mungkin karena lebih murah (bahkan gratis). Nah, ketika membaca konten lembaga-lembaga penyiar berita yang formatnya blogspot ini kewaspadaan kita harus ditingkatkan. Apalagi bila namanya dimirip-miripkan dengan nama lembaga media ternama. Bagi saya, sudah ada malice (niat buruk) di sana. Mengapa mereka memirip-miripkan namanya dengan nama lembaga media ternama? Sekadar tidak pede? Jangan-jangan memang sengaja untuk menyesatkan orang-orang yang kurang informasi?


Lansekap informasi sebelum dan setelah hadirnya media sosial

Sebelum hadirnya media sosial, media mainstream (media cetak dan media siaran) adalah sumber utama, mungkin satu-satunya, dalam mendapatkan informasi.
Di saat itu, media mainstream memiliki power yang sangat besar karena fungsi gate-keeper mereka tak tertandingi. Mereka yang memiliki power untuk memilah. Mana peristiwa atau isu yang akan dimuat, mana peristiwa dan isu yang ditinggalkan. Tak ditulis atau disiarkan sama sekali. Mereka juga punya power menentukan mana di antara peristiwa atau isu yg akan dimuat itu yang akan ditaruh di halaman pertama dan mana yang disembunyikan di halaman tengah yang jarang dibuka pembaca? Mana yang disiarkan jam 7 malam saat sekeluarga nonton TV, dan mana yang disembunyikan dalam berita jam 12 malam saat hanya orang insomnia yang masih terbangun? Mana berita yang disajikan 6 kolom plus foto berwarna dan mana yang hanya nyempil 1 kolom saja? Mana yang ditulis secara bersambung sepekan penuh dan mana yang dimuat sekali saja?




Saat itu, media mainstream pula yang memiliki power untuk memilih nara sumber mana yang akan dimintai komentarnya tentang atau menanggapi sebuah isu/peristiwa. Siapa pu yang diwawancarai media mainstream, biasanya akan diberi gelar kehormatan: ahli, pakar, pemerhati dan sejenisnya. Roy Suryo adalah salah satu yang diorbitkan oleh media mainstream dan digelari “pakar telematika”. Setuju atau tidak, ia pernah (masih?) mendapatkan pengakuan tersebut.


Di saat itu audiens menjadi pihak yang lebih lemah karena mereka hanya di posisi "menerima" berita. Keuntungannya, audiens tidak perlu berlelah-lelah memilah-milah informasi dan berkali-kali memverifikasinya.
Saat ini yang terjadi sebaliknya. Dengan hadirnya media sosial dan meluasnya jangkauan internet, audiens sebenarnya terberdayakan. Mereka bisa membuat konten sendiri, termasuk berita. Bukan hanya itu, audiens juga bisa mengoreksi berita dari media mainstream yg tidak lengkap, tidak objektif, atau bahkaan salah. Audiens juga bisa membuat berita mereka sendiri. Akibatnya, berita dan sumber berita menjadi sedemikian berlimpah. Audiens memiliki pilihan sumber informasi yang lebih banyak, bahkan nyaris tak terbatas.


Namun, juga di saat inilah kewaspadaan audiens harus ditingkatkan. Dengan membanjirnya berita dari semua sudut, audiens harus berlelah-lelah memilah informasi-informasi tersebut karena tidak semuanya benar. Untuk ini butuh kemauan dan kekritisan.

sumber ilustrasi: https://interaktif.kompas.id/kompas_redesain_2018; https://foto.kapanlagi.com/selebriti/Roy_Suryo/roy-suryo-010.html; https://www.hoax-slayer.net/hoax-message-warns-users-not-to-contact-dreamweavergrey/

Apa itu dunia maya?

Duluuu banget, kita hanya mengenal dua dunia. Dunia natural, dunia tempat kita hidup dan berinteraksi normal sehari-hari dan dunia supranatural, dunia di mana hal-hal di luar nalar bisa terjadi, di mana paku berkarat bisa “dikirimkan” dan masuk ke tubuh seseorang tanpa ia menyadarinya. Dunia di mana seseorang bisa berada di Makkah dan di Madura di saat yang sama. Dunia dimana orang bisa kaya tanpa banyak bekerja karena ada tuyul yang bekerja padanya. Biasanya, dunia supramatural ini melibatkan makhluk yang kebanyakan kita enggan berinteraksi dengannya.



Kini, dunia supranatural tidak lagi dibicarakan sebanyak dulu. Posisinya, dalam percakapan sehari-hari, digantikan oleh dunia maya. Begitu sering kita membaca, mendengar, dan mengucapkan “dunia maya” hingga sering lupa: apa itu dunia maya?  



Dunia maya muncul dalam konteks hubungan manusia secara langsung maupun termediasi oleh alat. Untuk itu, secara sederhana, dunia terbagi dua: dunia nyata, dan dunia maya. Disebut dunia maya karena ia dianggap kurang nyata atau tidak senyata dunia nyata.
Istilah untuk dunia maya ini tidak satu. Ada yang menyebutnya on-line world (dunia dalam jaringan), virtual world (dunia yang tidak sesungguhnya), cyber world (dunia bentukan komputer), networked societies (masyarakat berjaringan), dan lainnya. Intinya, sebuah dunia yang kehadirannya difasilitasi oleh kemajuan teknologi komputer dan internet.
Pertanyaan berikutnya, apakah dunia maya terpisah dari dunia nyata? Apakah dunia maya berkait dengan dunia nyata? Bagaimana bentuk, level, dan intensitas keterkaitannya? Ada banyak perdebatan di sini. Bisa jadi satu disertasi, hehehe.
Nah, untuk disebut “dunia”, ada beberapa aspek yang harus terpenuhi. Saya berargumen bahwa aspek yang harus dipenuhi agar bisa disebut “dunia” adalah adanya area/wilayah, adanya penghuni, adanya interaksi, dan adanya struktur. Dunia nyata, areanya jelas, penghuninya jelas, interaksinya jelas, dan strukturnya jelas (negara, komunitas, grup, keluarga dan lainnya). Bagaimana dengan dunia maya?
Apa yang menjadi area dunia maya? Bagaimana bentuk atau karakteristik area ini? Area dunia maya menjadi mungkin ada atau terbentuk berkat kehadiran teknologi world wide web (www) yang membuat komputer (dan tentunya kita sebagai penggunanya) bisa saling terhubung. Inilah areanya. Inilah “bumi”-nya dunia maya.
Siapa penghuninya? Penghuninya kita, para on-line user, yakni orang-orang (dan non-orang) yang “tinggal” dan beraktivitas di dunia maya tersebut. User di dunia maya biasanya diwakili atau hadir dalam bentuk akun (account). Salah satu bedanya “individu” di dunia nyata dan dunia maya adalah, individu di dunia maya sulit diidentifikasi jumlahnya, jenis kelaminnya, bahkan nyata atau tidaknya. Satu orang di dunia nyata bisa memiliki lebih dari satu akun di dunia maya. Cowok di dunia nyata bisa menyamar sebagai akun yang seolah wanita di dunia maya, dan lainnya. Selain akun yang memiliki (somewhat) hubungan dengan manusia di dunia nyata, banyak juga akun2 yang murni mesin. Akun yang memang diciptakan. Mereka disebut “bot”.
Interaksi di dunia maya banyak, mulai dari posting, komen, berbagi (share), serta memberi tanggapan emosional (like, love, angry, sad, laughing dan lainnya). Interaksi di dunia maya sangat terbatas bila dibanding interaksi di dunia nyata. Tanggapan emosional, misalnya, hanya terwakili dalam bentuk reaction (like, love, angry, sad, dll) dan emoji. Itu salah satu contohnya saja.
Struktur di dunia maya pada dasarnya terdiri dari “pemilik wilayah” dan mereka yang “berinteraksi dalam wilayah”. Platform, baik platform media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dan sejenisnya), search engine (Google, karena yang lain sudah seperti kutu saja), messaging app (Telegram, Whatsapp), user-generated content (Youtube, Flickr, dan sejenisnya) adalah para “pemilik wilayah”. Kita, para user, adalah orang-orang yang sekadar “berinteraksi dalam wilayah” yang mereka sediakan. Karena kita berinteraksi di wilayah mereka, kita pun terpaksa ikut aturan mereka. Kita menyerahkan data-data kita agar diizinkan menumpang berinteraksi di sana: alamat email, nomor telepon, foto, dan lainnya. Kita juga menyerahkan data-data kita (aneka postingan, foto, like, share dan lainnya yang kita lakukan) untuk mereka koleksi, pelajari, bagi, dan perjualbelikan.

Nah, kapling-kapling di dunia maya kemudian, oleh para ahli dan praktisi, dikelompok-kelompokkan berdasarkan fungsi utama atau fasilitasi utama yang mereka tawarkan kepada user. Maka muncullah kategori-kategori seperti: 1. search engine (Google, Yahoo, dsj), 2. user generated content (Youtube, Flickr, Tumblr, dsj), 3. Media sosial (Faebook, Twitter, Instagram, dsj, user-generated content bisa masuk kategori media sosial juga), 4. Blog, 5.market place (E-bay, Alibaba, Amazon, OLX, bukalapak, tokopedia, dll), dan website (semua yang berbasis di web namun tidak masuk kategori di atas). Website bisa terdiri dari website pemerintah, perusahaan, media massa, dan lainnya. Semua yang berjualan berita atau konten utamanya berita, bisa masuk ke dalam kategori laman berita (news website). Perbedaan yang muncul bukan pada bentuk, tapi pada kualitas sajian. Dewan Pers misalnya sudah mengkategorisasi laman berita berdasarkan produknya dan kejelasan produsernya. Apakah yang tidak masuk dalam daftar Dewan Pers berarti bukan laman berita? Menurut saya, selama jualannya adalah berita, ya masuk kategori laman berita. Kalau beritanya serampangan, tidak berdasar, tidak memenuhi kaidah jurnalistik, kita sudah menyediakan kategorinya ”laman berita abal-abal”, hehehe.  

sumber ilustrasi: https://www.bilikupdate.com/2018/09/tutorial-jadi-tuyul-online-eth-airdrop-token-crypto.html; https://www.recode.net/2016/4/13/11586098/watch-facebook-social-virtual-reality-demo

WA, Grup Sebelah, dan Pentingnya Verifikasi



“Grup sebelah”. Inilah "kantor berita" paling tidak kredibel di dunia. Tidak ada redaksi, tidak punya kantor, upaya verifikasi sepenuhnya diserahkan kepada audiens. Lebih berbahaya lagi karena "kantor berita" ini punya agen yang begitu banyak jumlahnya. Kalau Anda mendapat info dari kantor berita “Grup Sebelah” (dan dari mana pun, sebenarnya), lakukan langkah seperti dalam gambar berikut untuk memastikan bahwa informasi yang Anda dapat bukanlah berita bohong.
Cara Mengenali Fake News:
1. Perhatikan sumbernya. Cari tahu siapa sumber yang menulis dan/atau dikutip. Apa afiliasinya? Apakah kontak dan identitasnya jelas? Bila sumbernya saja tidak jelas, ya wassalam. Tidak usah dilanjutkan membacanya, apalagi sampai mempercayainya.
2. Cek penulisnya. Cari informasi dan rekam jejak penulisnya. Apakah ia sosok nyata? Apakah ia kredibel? Apakah ia layak untuk berbicara tentang topik yang dimaksud?


3. Cek tanggal. Apakah ini berita baru atau berita lama yang disiarkan ulang? Ada informasi yang timeless, tetap relevan kapan pun. Bahwa kemerdekaan Indonesia itu diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945, itu informasi yang timeless. Namun, ada juga informasi yang berbatas waktu. Informasi tentang beasiswa atau bukaan lowongan pegawai negeri sipil, misalnya. Begitu batas akhir masa pendaftaran terlewati, informasi itu tak lagi berguna.
4. Periksa bias kita sendiri. Masing-masing individu memiliki bias, baik karena identitasnya (agamanya, etnisnya, dll), kelompok sosialnya, afiliasi politik, dan harapan-harapannya. Pastikan bias ini tidak terlalu mempengaruhi penilaian kita terhadap berita yang sedang kita kaji.
5. Baca kseluruhan berita. Jangan hanya judul. Di masa kini banyak situs mengandalkan click bait. Mereka membuat judul-judul heboh agar orang tertarik membacanya, tapi ternyata isinya sama sekali tidak seperti judulnya.
6. Adakah sumber pendukungnya? Bila ada, coba klik sumber-sumber tersebut dan nilailah kredibilitasnya. Apakah sumber-sumber ini memperkuat isi artikel?
7. Apakah artikel ini hanya candaan saja? Bila suatu artikel atau tulisan terlihat terlalu aneh, terlalu berani, terlalu tidak masuk akal, jangan-jangan itu cuma satir? Cuma guyonan? Kalau benar demikian, ya jangan ditanggapi terlalu serius dong. Senyumin saja.
8. Tanyalah ahlinya. Ahli ini bisa pustakawan, situs-situs pemeriksa fakta, dan orang yang dikenal kredibel dan paham di bidang yang sedang dibahas.

sumber ilustrasi: http://easytechtools.com/fix-ms-outlook-error-0x800ccc0e/; https://tgstat.com/channel/@darigrupsebelah

Gelembung Algoritma


Media sosial (Facebook, Twitter, Youtube, Tumblr, Instagram, Path, dll), juga perpustakaan besar bernama Google itu, memiliki algoritma masing-masing. Algoritma ini memungkinkan mereka memantau dan memetakan para penggunanya. Tujuan dari pemantauan ini adalah menyajikan informasi yang mereka rangkai sedemikian rupa yang didekatkan atau disesuaikan dengan kesukaan penggunanya. Karena saya suka sekali memutar lagu-lagu Arijit Singh di Youtube, maka Youtube selalu menawari saya lagu-lagu Arijit lain yang belum pernah saya dengar dan konten-konten lain terkait Arijit. Youtube pikir saya menyukainya.

Nah, di sinilah bahayanya. Bila Anda terlalu sering mengakses (membaca, me-like atau men-share) konten dari Seword.com atau KataKita, maka media sosial yang Anda pakai akan mendekatkan Anda kepada konten-konten tersebut dan orang-orang yang sama-sama mengonsumsi konten tersebut.

Makin sering Anda mengonsumsi konten mereka, makin dalam Anda "didekatkan" dengan orang-orang lain sesama konsumen konten tersebut. Akibatnya, Anda menjadi jauh lebih sering bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang tersebut, orang-orang yang sebenarnya satu pemikiran dengan Anda. Karena Anda bertemu dengan orang yang sepemikiran, Anda merasa pikiran tersebut benar. Padahal, tentu saja belum tentu. Inilah yang disebut social media bubble, atau yang kata Merlyna Lim algorithmic enclave. Hal ini terjadi pula kepada mereka yang terlalu banyak/sering mengonsumsi konten-konten di kutub satunya lagi, seperti portal-islam.id, VOAIslam, dll.
Jadi, apakah Anda sedang terjebak dalam salah satu bubble? 

Rabu, 30 Januari 2019

Data, Metadata, dan Algoritma (3 - Tamat)



Oke, dalam dua tulisan terdahulu saya menulis tentang data dan metadata. Sekarang yang ketiga, algoritma.

Mendengar kata algoritma, saya terbayang rumus-rumus matematika. Seketika saya pusing. Terbayang rumus-rumus yang harus saya hafal dari Sd, SMP, dan SMA tanpa tahu apa kegunaannya (andai kata saya tahu lebih awal kegunaan masing-masing rumus dalam kehidupan sehari-hari, sepertinya saya akan jatuh cinta pada matematika jauh lebih awal). Bagaimana dengan Anda? Semoga tidak seperti saya ya.

Nah, algoritma memang rumus. Dalam konteks topik yang sedang kita bicarakan, algoritma adalah rumus yang sudah ditetapkan oleh si owner platform online untuk mengumpulkan, mengelompokkan, dan mengeksekusi data yang ia peroleh.

Ingat, owner di sini adalah media sosial dan semua platform online yang kita pakai, mulai dari Facebook, Twitter, Youtube, Instagram, Path (alm), Tumblr, Flickr, Reddit, Picasa, Photobucket, Google, Yahoo, aneka situs berita, perbankan, situs porno, situs belanja online, dan lainnya. Algoritma masing-masing owner tentu berbeda, namun pola kerja dasarnya kurang lebih sama.
Supaya lebih mudah memahami, langsung contoh kerjanya saja ya. Mari bicara tentang Like. Facebook akan mencatat semua Like yang pernah kita pencet. Statusnya siapa (baik orang maupun produk) yang sering kita like? Apakah kita me-like hampir semua status teman kita, atau kita me-like status teman tertentu saja?

Bila kita jauh lebih sering me-like status teman kita yang berisi share dari KataKita, misalnya, maka Facebook akan menganggap kita suka pada teman tersebut dan KataKita. Tiap kali teman yang itu meng-update statusnya, status tersebut akan muncul teratas di newsfeed kita. Teman-teman lain yang juga sering men-share KataKita, akan muncul lumayan sering pula di newsfeed kita. Kok bisa? Itu karena algoritma Facebook sudah merumuskan bahwa mereka yang suka dengan x akan disodori x lebih banyak lagi. Akibatnya, kita lebih sering terekspos dengan pembaruan status teman-teman kita yang suka berbagi konten KataKita. Kita makin dijauhkan dari teman-teman yang jarang atau tidak pernah membagi konten KataKita.

Demikian pula sebaliknya. Bila kita sering me-like status teman berisi link portal-islam.id, maka kita akan disuguhi oleh Facebook status teman-teman yang juga sering berbagi postingan portal-islam.id. Kita pun akan "terkepung" oleh mereka.

Contoh lain: bila kita sering me-like Cookpad atau penyedia jasa resep-resep masakan, maka Facebook akan menyediakan iklan terkait masakan dan makanan di wall kita. Mungkin iklan wajan anti lengket, mungkin iklan penyedia makanan sehat, dan lainnya. Intinya, Facebook akan memberi apa yang --menurut pantauan Facebook-- merupakan kesukaan kita. Tahunya dari mana? Dari like kita.

Like bukan satu-satunya "alat sadap" untuk mengetahui perilaku kita. Share, recommend, favorite, love dll adalah bentuk-bentuk alat pantau tersebut.

Jadi, sudah makin ngeri? Hahaha.

Ilustrasi: http://binarybiryani.com/wp-content/uploads/2013/05/Tumblr-India-3.jpg

Data, Metadata, dan Algoritma (2)

Di tulisan pertama saya uraikan tentang apa itu "data". Sekarang, apa itu metadata?


Sederhananya, metadata adalah "data tentang data". Lo, maksudnya?


Kita ambil contoh salah satu bentuk data: foto. Di dalam foto yang kita unggah ke media sosial, ada data tentang foto itu sendiri. Misalnya, kamera apa yang dipakai untuk mengambil foto tersebut? Kapan foto itu diambil? Di mana lokasi tempat foto itu diambil? Dengan software atau aplikasi apa foto itu diedit sebelum diposting? Apakah foto itu asli atau hasil montase? Bila dimontase, kapan foto itu dimontase?


Bicara tentang montase, saya jadi Roy Suryo. Beliau ini yang, sebelum menjadi Menpora di era Presiden SBY, paling sering dimintai pendapat oleh media massa untuk memastikan apakah sebuah foto asli atau tidak. Biasanya sih foto-foto "aduhai" yang membuat si pemilik foto jantungan.


Jangan salah, status di media sosial (termasuk tulisan yang sedang Anda baca ini), adalah sebentuk data. Dan, ada METADATA dalam status saya ini. Bentuk metadata atas status saya ini misalnya: dari IP address mana saya menuliskan artikel ini? Kapan saya menuliskannya? Di mana lokasi saya menuliskannya? Apakah artikel ini saya ketik di halaman Facebook atau saya copy-paste dari Word? Itu semua adalah data tentang data, yakni data tentang artikel yang sedang Anda baca ini.


Kita, sebagai si pembuat data, mungkin malah tidak ingat kapan dan di mana sebuah artikel, status, foto dan lainnya kita bikin. Tapi si owner, si platform media sosial (dan bentuk penyedia jasa lain di ranah online), ingat persis. Mereka menyimpan semua METADATA atas data yang kita setor. Kalau metadata ini dibuka oleh owner, maka identitas si pembuat data mudah saja dilacak. Kadang, metadata bisa dibuka tanpa harus meminta dibukakan oleh si owner. Ada aplikasi dan kemampuan tertentu yang bisa membuka metadata ini. Karena itu, jaringan penyebar hoax bisa ditelusuri. Tinggal mau atau tidak menelusurinya. Sampai mana penelusuran akan dilakukan, serta mana duluan yang ditelusuri. MCA dulu atau Saracen dulu? Atau barengan antara penyebar hoax yang dianggap pro pemerintah maupun yang dianggap kontra pemerintah?





Jadi, ketika Anda, misalnya, menyebarkan berita bohong pakai akun anonim, menggunakan bukan nama Anda dan tidak pakai avatar apa pun, serta Anda menuliskannya dari sebuah warnet kumuh di sebuah desa yang namanya tak ada di peta, atau dari ponsel murah buatan China dengan kartu SIM sekali pakai, Anda tidak boleh merasa aman. Jejak Anda bisa ditelusuri kapan saja.



Makin merasa tidak aman? Hahaha. (Bersambung)

Data, Metadata, dan Algoritma (1)

Shihab bingung. Mengapa sekarang banyak sekali iklan Lenovo di akun Facebook-nya? Perasaan, dia tidak pernah cari-cari info tentang Lenovo? Kawan, Shihab lupa bahwa dia, dalam dua hari belakangan itu, ber-facebook ria pakai hape barunya. Hape Lenovo. Dan, Facebook tahu itu! Karena itu, yuk kita pahami tentang data, metadata, dan algoritma.

Data adalah informasi apa pun yang kita suplai ke suatu platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, dll. Nama kita, alamat e-mail, foto kita (mulai dari yang rapi berjas dan berdasi sampai foto dengan bibir dimonyongin 1 kilometer), status kita (menikah, in a relationship, complicated, #PhDJomblo dan lainnya) dan yang sejenis itu adalah DATA. Data ini dapat dilihat oleh kita dan orang lain, sesuai seting yang kita tetapkan padanya. Karena itu ada orang-orang yang memajang semua datanya di kolom "About" akun facebooknya, ada juga yang kolom "About"-nya kosong melompong. Bukan berarti mereka tidka punya identitas, hanya saja mereka tidak membukanya kepada kita. Itulah yang namanya privacy seting alias seting privasi. Dengan seting ini kita bisa mengatur siapa yang bisa melihat data kita, juga postingan kita. Foto yang kita tetapkan "only me" di Facebook, misalnya, hanya bisa dilihat oleh kita, orang lain tidak bisa melihatnya.

Eits, itu belum sepenuhnya. Kita bukan satu-satunya pemilik data tersebut. Owner, alias platform tempat kita menyetor data tersebut, pada akhirnya menjadi pemilik data kita pula. Artinya, semua platform media sosial yang kita pakai, juga penyedia jasa online lainnya (Google, Grammarly, Wordpress, Kompasiana, situs bank yang kita pakai, situs porno yang kita datangi, dll) menjadi PEMILIK pula dari data kita. Bahkan setelah kita hapus pun BELUM TENTU data di gudang penyimpanan mereka ikut terhapus pula. Jadi meskipun Bu Dendy, misalnya, sudah menghapus video-nya yang viral itu, video tersebut tetap ada. Nih contohnya:




Pertama, mungkin ada banyak orang lain yang saking senangnya akhirnya tetap menyimpan video tersebut. Kedua, platform tempat video tersebut dibagikan sangat mungkin masih menyimpannya.

Atau, pernahkah Anda mengata-ngatai orang ternama atau kelompok tertentu? Mengata-ngatai orang terkenal kan salah sara untuk terkenal juga? Hahaha. Banyak kan yang begitu bersemangat mengata-ngatai orang lain dengan sebutan "onta", "bumi datar", "sumbu pendek", "kafir", "babi", "komunis", "radikal" dan lainnya?

Sebagian orang yang sadar, lalu menghapus sumpah serapah tersebut. Tapi, sumpah serapah itu tidak serta merta hilang. Pertama, sangat mungkin ada orang lain yang menyimpannya. Ada yang suka men-screen shoot hal seperti itu. Kedua, lagi-lagi, platform yang Anda pakai untuk marah-marah itu tetap menyimpan bentuk kemarahan Anda tadi. Inilah yang dinamakan JEJAK DIGITAL.

Jadi, apakah anda sudah mulai merasa harus berhati-hati? (Bersambung)

Senin, 28 Januari 2019

prayforsurabaya_Coding Manual for Content Analysis

Name of Posters

Type of posters
1.       Individuals
2.       Prominent individuals (celebrity, band, political candidates,
3.       Corporations, companies (including online shop), brands, and products
4.       Mass media and online news media outlets
5.       Government bodies, government officials, political parties
6.       Non-government organizations, universities, sports organizations
7.       Communities, fans club, religious groups, hobby groups, associations, forums, politicians 
          supporter groups
8.       Undefined
9.       Others

Date of posts
1. The day of the first attack
2. H+1
3. H+2
4. H+3
5. H+4 and beyond

Geo-location
1. Surabaya and Sidoarjo
2. East Java Province other than Surabaya and Sidoarjo
3. Indonesia other than East Java Province
4. Overseas
5. Unidentifiable

Contents of posts

Main Points of post' contents
1. Resilience and resistance slogans
2. Call for unity
3. Sympathy, empathy, condolences
4. Accusation, anger, condemnation, blaming
5. Stereotype, label, defence,  or opposition to them
6. Analysis
7. Report of the events (including picture and video of the terror attack and related event)
8. Islamic teachings
9. Christianity teachings
10. Appeal not to share pictures and videos of terror attacks' victims and not to call the attack as
      political diversion
11. Profiles and stories about the terror attacks' victims
12. Statements from prominent figures
13. Political statements and/or statements from politicians and political parties
14. Private activity, picture, product, occasion
15. Statement that terrorism and/or terrorists have no religion
16. Others

Privacy setting
1. Public
2. Friends
3 = Customized

Illustrations/Links
1. Without illustrations/links
2. With illustrations/links

Types of illustrations and links
1. Pictures and/or videos of terror attack scenes
2. Pictures and/or videos of the terrorists
3. Quotes, pictures, or videos of resilience and resistance slogans
4. Quotes, pictures, or videos urging for unity
5. Quotes, pictures, or videos showing sympathy, empathy, and condolences
6. Quotes, pictures, or videos showing accusation, anger, condemnation, blaming
7. Quotes, pictures, or videos showing stereotype, label, or opposition to them
8. Quotes, pictures, or videos of Islamic teaching
9. Quotes, pictures, or videos of Christianity teachings
10. Quotes, pictures, or videos of government officials
11. Profiles of terror attacks' victims
12. Quotes, pictures, or videos of prominent figures
13. Quotes, pictures, or videos from politicians, political parties, and political candidates
14. Pictures or videos of private activies, businesses or products
15. Quotes, pictures, or videos stating that terrorism and/or terrorists have no religion
16. Quotes, pictures, or videos urging not to share victim’s pictures/videos and statement stating that
      the terror acts were political diversion
17. Others

Main Points of Pictures/Illustration/Links
1. Resilience and resistance slogans
2. Call for unity
3. Sympathy, empathy, condolences
4. Accusation, anger, condemnation, blaming
5. Stereotype, label, defence,  or opposition to them
6. Analysis
7. Report of the events (including picture and video of the terror attack and related event)
8. Islamic teachings
9. Christianity teachings
10. appeal not to share pictures and videos of terror attacks' victims and not to call the attack as
      political diversion
11. Profiles and stories about the terror attacks' victims
12. Statements from prominent figures
13. Political statements and/or statements from politicians and political parties
14. Private activity, picture, product, occasion
15. Statement that terrorism and/or terrorists have no religion
16. Others












































































prayforsurabaya_Data1_query result_Surabaya and Victim concepts

Query Results
Query:NAME:Surabaya AND WORD:korban
Matches 1 to 10 of 25   


1. /leximancer-prayforsurabaya-1.txt/leximancer-prayforsurabaya-1~3.html/1/1_563
Mari kita doakan semoga keluarga korban diberi ketabahan, dan kondisi di Surabaya kembali aman dan kondusif. Amin.

2. /leximancer-prayforsurabaya-1.txt/leximancer-prayforsurabaya-1~3.html/1/1_565
Note:
Bagi siapapun yang memilik foto korban tolong jangan dishare, kita redam kepanikan dan gunakan waktu untuk berdoa untuk para korban dan keamanan Surabaya.

3. /leximancer-prayforsurabaya-1.txt/leximancer-prayforsurabaya-1~4.html/1/1_855
Mari kita doakan semoga keluarga korban diberi ketabahan, dan kondisi di Surabaya kembali aman dan kondusif. Amin.

4. /leximancer-prayforsurabaya-1.txt/leximancer-prayforsurabaya-1~4.html/1/1_857
Note:
Bagi siapapun yang memilik foto korban tolong jangan dishare, kita redam kepanikan dan gunakan waktu untuk berdoa untuk para korban dan keamanan Surabaya.

5. /leximancer-prayforsurabaya-1.txt/leximancer-prayforsurabaya-1~1.html/1/1_72

"Keluarga besar Persebaya Surabaya turut berduka atas jatuhnya korban akibat insiden bom di beberapa titik di Surabaya. Persebaya juga mengutuk keras segala tindangan pengecut dan tidak manusiawi ini," tulis keterangan foto akun Instagram @officialpersebaya.

6. /leximancer-prayforsurabaya-1.txt/leximancer-prayforsurabaya-1~2.html/1/1_350

Gwu Turut berduka cita atas tragedi peledakan bom Surabaya, smg korban meninggal mendapatkan tempat terbaik disisi Nya. Keluarga yg ditinggalkan diberikan kesabaran.

7. /leximancer-prayforsurabaya-1.txt/leximancer-prayforsurabaya-1~4.html/1/1_868
From Instakatolik
#prayforsurabaya
#prayforindonesia Keluarga besar Persitara mengucapkan turut berduka cita untuk semua korban Bom di Surabaya.

8. /leximancer-prayforsurabaya-1.txt/leximancer-prayforsurabaya-1~6.html/1/1_1307
Keluarga Besar Dompet Dhuafa turut Berduka cita kepada para korban dan keluarga korban yang ditinggalkan. #PRAYFORSURABAYA #PRAYFORSIDOARJO
#SIDOARJOBERANI #SURABAYAWANI
BERSATU LAWAN TERORIS #prayforsurabaya Surabaya oh surabaya ket tangi ndelok tipi moro onok brita ngenek.

9. /leximancer-prayforsurabaya-1.txt/leximancer-prayforsurabaya-1~6.html/1/1_1396
Kerusuhan yang terjadi di Mako Brimob Jakarta dan pengeboman yang terjadi di Surabaya serta Sidoarjo telah menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa dari pihak kepolisian & masyarakat. Oleh karena itu, mari mulai sekarang kita satukan tekad perangi terorisme!

10. /leximancer-prayforsurabaya-1.txt/leximancer-prayforsurabaya-1~6.html/1/1_1410
Mari kita panjatkan doa bersama untuk para korban dan semoga kota Surabaya tetap menjadi kota yang aman & tentram.



prayforsurabaya_Data2_query result_Muslim and Terrorist concepts

Query Results
Query:NAME:Muslim AND WORD:terrorist
Matches 1 to 10 of 10   


1. /leximancer-prayforsurabaya-2.docx/leximancer-prayforsurabaya-2~1.html/1/1_99
against stereotyping; identity, I am a Muslim and I am not a terrorist

2. /leximancer-prayforsurabaya-2.docx/leximancer-prayforsurabaya-2~1.html/1/1_94
Who are you terrorists? Why did you bomb the christians going to the church and kill Muslim going to the mosque

3. /leximancer-prayforsurabaya-2.docx/leximancer-prayforsurabaya-2~1.html/1/1_328
I am an Indonesian, a Muslim and am not a terrorist. Terrorism is not Islamic teaching.

4. /leximancer-prayforsurabaya-2.docx/leximancer-prayforsurabaya-2~1.html/1/1_51
Statement of prominent figure (Bachtiar Nashir, one of prominent Muslim figures) stating that the terrorist were hijacking Islam, Muslims not to be lured by provocative online accounts/websites supporting the terror acts, and that Muslim and non Muslim Indonesians are brothers.

5. /leximancer-prayforsurabaya-2.docx/leximancer-prayforsurabaya-2~1.html/1/1_72
Statement of prominent figure (Bachtiar Nashir, one of prominent Muslim figures) stating that the terrorist were hijacking Islam, Muslims not to be lured by provocative online accounts/websites supporting the terror acts, and that Muslim and non Muslim Indonesians are brothers.

6. /leximancer-prayforsurabaya-2.docx/leximancer-prayforsurabaya-2~1.html/1/1_105
Statement of prominent figure (Bachtiar Nashir, one of prominent Muslim figures) stating that the terrorist were hijacking Islam, Muslims not to be lured by provocative online accounts/websites supporting the terror acts, and that Muslim and non Muslim Indonesians are brothers.

7. /leximancer-prayforsurabaya-2.docx/leximancer-prayforsurabaya-2~1.html/1/1_205
Statement of prominent figure (Bachtiar Nashir, one of prominent Muslim figures) stating that the terrorist were hijacking Islam, Muslims not to be lured by provocative online accounts/websites supporting the terror acts, and that Muslim and non Muslim Indonesians are brothers.

8. /leximancer-prayforsurabaya-2.docx/leximancer-prayforsurabaya-2~1.html/1/1_256
Statement of prominent figure (Bachtiar Nashir, one of prominent Muslim figures) stating that the terrorist were hijacking Islam, Muslims not to be lured by provocative online accounts/websites supporting the terror acts, and that Muslim and non Muslim Indonesians are brothers.

9. /leximancer-prayforsurabaya-2.docx/leximancer-prayforsurabaya-2~1.html/1/1_288
Statement of prominent figure (Bachtiar Nashir, one of prominent Muslim figures) stating that the terrorist were hijacking Islam, Muslims not to be lured by provocative online accounts/websites supporting the terror acts, and that Muslim and non Muslim Indonesians are brothers.

10. /leximancer-prayforsurabaya-2.docx/leximancer-prayforsurabaya-2~1.html/1/1_305
Statement of prominent figure (Bachtiar Nashir, one of prominent Muslim figures) stating that the terrorist were hijacking Islam, Muslims not to be lured by provocative online accounts/websites supporting the terror acts, and that Muslim and non Muslim Indonesians are brothers.