Selasa, 05 Februari 2019

Elit dan Massa (4 - Habis)

Apa, sih, pekerjaannya elit itu? Pekerjaan elit adalah mengkondisikan pendukungnya. Elit mendapatkan keuntungan dari mengkondisikan pendukungnya. Makin sukses dia dalam mengarahkan pendukungnya, makin besar keuntungan ia raih. Makin "berisik" pendukungnya, kemungkinan makin kuat posisi si elit.


Pendukung yang berisik gampang dijual dengan kecap "Pendukung saya banyak, lo!" Organisasi karyawan/buruh, misalnya. Makin berisik para buruh itu, makin kuat posisi elit buruh. Buruh-nya mungkin luka-luka disepak polisi, hatinya juga tersayat disumpahin netizen yang maha benar. Bagaimana dengan elit buruh? Dia tinggal bilang, "Mau saya diemin gak anak-anak ini atau saya biarkan?"



Mendiamkan (membuat jadi diam) buruh yang "berisik" tentu tidak gratis. Cilok saja bayar. Bayarannya tidak harus uang. Mungkin proyek. Mungkin jabatan. Mungkin dilupakannya kesalahan masa silam. Nah, yang bisa didiamkan bukan hanya buruh, tapi juga jamaah, jemaat, simpatisan, hingga preman. Pihak yang paling mampu mendiamkan massa akan muncul menjadi elit paling berkuasa.

Apakah massa tidak bisa melawan elit? Apakah massa tidak bisa menjungkalkan elit? Bisa, sih, tapi memang tidak mudah. Seperti ditulis di post terdahulu, para pemilik media massa adalah contoh elit. Pemilik stasiun TV, misalnya, darimana mereka dapat duit? Dari iklan. Kenapa pemilik produk mau bayar iklan di stasiun TV yang harganya --buat ukuran kita, si bekas cipirit yang tak terjangkau tisu ini-- super mahal? Karena iklan itu diyakini dilihat banyak orang dan sebagiannya mungkin akan terbujuk, akan beli produk yang diiklankan. Kenapa pemilik iklan begitu yakin? Ya karena kita BENERAN masih nonton acara-acara TV itu.



Sinetronnya kita hujat, katanya membodohkan, tapi tetap ditonton. Talkshow-nya kita bilang sampah, tidak imbang, tapi tetap ditonton. Selama kita masih menonton acara-acara itu, maka Nielsen tetap mencatat acara-acara itu punya rating yang bagus. Kalau rating bagus, iklan datang. Kalau iklan datang, pemilik TV akan makin kaya. Jadi bagaimana melawan elit pemilik media? Ya jangan pakai medianya. Jangan tonton sinetronnya. Jangan tonton talkshow atau acara apa pun yang menurut Anda membodohkan itu. Tapi kan garing gak nonton televisi?
Yah, kan bisa main gaple atau karambol?
Atau baca Al Qur’an?
Atau bantuin anak ngerjain pe-er?
Atau aktif di kegiatan er te?


Sumber ilustrasi: http://aceh.tribunnews.com/2018/11/07/6-fakta-baru-penangkapan-habib-rizieq-shihab-oleh-pihak-keamanan-arab-saudi; https://tirto.id/sbsi-akan-kerahkan-2-ribu-buruh-demo-di-tanjung-priok-saat-may-day-cJxs; https://www.hipwee.com/motivasi/11-alasan-kenapa-kamu-harus-matikan-tv-mu-saat-ini-juga/; Hasanudin Abdurakhman/https://edukasi.kompas.com/read/2016/05/24/15483201/dampingi.anak-anak.kita.belajar

Elit dan Massa (3)

Ada dua jenis utama hubungan antar-elit, yakni kerja sama dan kompetisi. Mereka hanya berkompetisi bila kerja sama tidak memungkinkan. Bahkan, dalam banyak kasus, kompetisi antar-elit adalah bagian dari kerjasama mereka yang lebih besar. Pemilik media (elit 1) butuh bantuan anggota DPR (elit 2) dan pemerintah (elit 3) agar monopoli-nya tidak diutak-atik. Karena itu, ada pemilik media yang punya sekian koran, sekian media online, sekian stasiun radio, dan sekian stasiunTV dan bebas-bebas saja membentuk opini kita hingga saat ini. Bantuan elit 2 dan 3 kepada elit 1 tentu tidak gratis. Makan di warteg saja mbayar. Ya, kasihlah potongan harga untuk iklan-iklan politik mereka yang muncul di TV-nya, atau media online-nya, atau korannya. Atau, ya buatlah program yang sepertinya berita, tapi sebenarnya ya sarana promosi untuk si elit 2 atau elit 3. Itu baru hubungan antara elit 1, 2, dan 3. Padahal jenis elit banyak, kan? 



Massa yang kritis sangat dibenci elit. Massa yang kritis membuat elit harus memenuhi janjinya karena mereka dengan rajin mencatat janji para elit dan tanpa lelah menagihnya. Massa yang kritis membuat elit harus berprestasi baik karena mereka siap mendukung elit lain bila elit yang ia dukung dulu ternyata tidak berprestasi atau ketahuan belangnya.


Massa yang kritis bisa membuat elit bisa terlempar dari orbit elit dan menjadi rakyat jelata. Karena salah satu dari massa yang kritis itu yang kemudian jadi elit baru. Sebaliknya, massa yang mendukung secara membabi buta adalah yang paling disuka oleh para elit. Massa jenis ini tidak bertanya macam-macam. Lebih penting lagi, massa jenis ini mudah diarahkan, diperjualbelikan, dan dijadikan bahan ancaman. "Kalau tidak begini, massa saya akan berbuat begini lo kepada Anda!"

sumber ilustrasi: https://www.quora.com/How-would-you-describe-each-of-the-media-companies-in-Indonesia-Which-one-should-I-trust; http://www.swamedium.com/2018/02/02/semprit-dan-kartu-kuning-bem-ui-untuk-jokowi/; https://musicalhegemony.files.wordpress.com/2015/05/civil-society.jpg

Elit dan Massa (2)

Kepentingan. Inilah yang diperjuangkan para elit (dan sebagian massayang sadar) melalui kontestasi politik. Kepentingan siapa? Yang jelas, kepentingan pihak yang berkompetisi itu. Bukan kepentingan masyarakat? Bisa jadi, terutama bila kepentingan masyarakat itu "pas" dengan kepentingan pihak yang berkompetisi tersebut. Nah, karena masyarakat itu begitu luas dan begitu banyak, kepentingan mereka pun buanyak dan beragam. Dengan begitu, elit menjadi mudah. Ambil yang ini, dipoles sedikit, tampak seperti kepentingan (sebagian) masyarakat. Ambil yang itu, dipoles sedikit, tampak seperti kepentingan (sebagian) masyarakat yang lain lagi. Yang bisa dilakukan masyarakat adalah meneliti sungguh-sungguh, apakah klaim elit itu memang kepentingan mereka? Kalau bukan, mereka tidak boleh lelah menyuarakan kepentingan mereka sampai didengar dan disuarakan oleh para elit itu. Atau, jadilah elit itu sendiri.

Apa yang di mata massa tampak seperti kompetisi, bisa jadi adalah bagian dari kerjasama antar-elit. Misalnya, sebuah pilgub ada tiga calon. Salah satu calon kalah di putaran pertama. Dia bisa jualan "suara pendukung"-nya kepada dua kandidat yang tersisa. Atau, bisa jadi ada sebuah pilpres yang calonnya hanya satu, tapi karena sistem Pemilu-nya mensyaratkan adanya kompetisi, maka dicarilah lawan. Menang atau kalah, si lawan ini sudah menang, hehehe. Dia takkan maju tanpa “dapat apa-apa”, kan?


Transaksi bahkan bisa dilakukan sejak kompetisi belum benar-benar dimulai. Anggaplah ada sebuah pilwali dengan dua kandidat, A dan B. A yakin bisa mengalahkan B. Lalu, muncullah si C, koar-koar akan ikut pilwali juga. Si C ini basis massanya tidak besar. Kalau ikut pilwali pasti kalah. Tapi, karena basis masa di C dan si A sama, kehadiran C bisa membuat A kalah karena suara basis massa mereka bisa terpecah. Maka, A membujuk si C agar membatalkan niatnya ikut pilwali. Tidak gratis dong. Tahu bulat aja bayar. 

Elit dan Massa (1)

Di semua masyarakat dan komunitas-komunitas dalam masyarakat itu, selalu ada dua kelompok: elit dan massa. Elit itu jumlahnya sedikit namun menguasai banyak sumber daya. Elit biasanya didengarkan dan memiliki kemampuan mengarahkan. Massa jumlahnya besar namun memiliki sumber daya yang sangat terbatas. Mereka biasanya objek yg diarahkan. Jokowi dan Prabowo itu elit, saya dan yang baca status ini, kemungkinan besar, massa.


Tengkulak itu elit, para petani yang disandera dengan utangnya adalah massa. Ahmad Dhani Prasetyo itu elit, mereka yang sibuk mengecam atau asyik bersorai atas dipenjaranya dia, pastilah massa.



Elit dan massa, meski berada di kelompok yg sama, biasanya tidak berhubungan secara intensif. Jokowi paling dadah-dadah pada warga yang menunggunya di pinggir jalan. Serena Williams hanya foto bareng atau berbagi tanda tangan untuk fansnya. Mengapa? Karena elit cenderung berhubungan dengan elit lain dari kelompok yang berbeda. 

 



Elit adalah kelompok kecil yang sangat berdaya dan berpengaruh. Sumber yang membuat mereka berdaya dan berpengaruh macam-macam, mulai dari kekayaan, posisi di pemerintahan, posisi di masyarakat, posisi di struktur atau kelompok keagamaan, posisi di kemiliteran, kepemilikan atas sumber informasi, kemampuan dalam mempengaruhi pikiran masyarakat, dan lainnya. Sebagian elit memiliki lebih dari satu sumber yang membuat mereka sangat berdaya dan berpengaruh. Jokowi mungkin tidak kaya-kaya banget, tapi dia presiden (posisi birokratis tertinggi). Prabowo mungkin mulai berkurang kekayaannya (atau meningkat?), tapi dia tetap kaya dan kenal orang-orang penting. Harry Tanoe menguasai media dan media sangat potensial mempengaruhi pikiran masyarakat. Kiai, pastur, pendeta dan para pemuka agama punya kemampuan mengarahkan. Jangan heran kalau semua calon presiden ramai-ramai mendekati mereka tiap pilpres menjelang. Para pemuka agama itu adalah elit. Nah, orang-orang yang bisa membiayai kampanye para capres, tentunya elit juga. Elitnya elit, bahkan.




sumber ilustrasi: https://en.tempo.co/read/1160227/pdip-politician-idolizes-jokowi-prabowo-friendship; http://wartakota.tribunnews.com/2018/11/26/ahmad-dhani-dituntut-dua-tahun-penjara-terkait-kasus-ujaran-kebencian; https://sports.inquirer.net/165107/china-open-serena-williams-fights-back-cilic-also-through; http://kaltim.tribunnews.com/2019/02/03/viral-kyaimaimoendoakanprabowo-begini-suasana-pertemuan-jokowi-prabowo-saat-bertemu-mbah-moen

Panggung Politik

Pernahkah Anda menonton konser atau pertunjukan drama? Di bagian depan, panggung terlihat rapi. Para pemain tampil dengan memukau. Lampu menyorot mereka, memberi kesan dramatis. Para penampil tampil dalam karakter lakon mereka. Penyanyi tampak memukau dalam konser mereka.


Cobalah menyelinap ke belakang panggung. Kabel-kabel terolor tidak karuan. Kaos-kaos penuh peluh berserakan di mana-mana. Di banyak bagian ada tumpahan nasi kotak yang dimakan tergesa-gesa. Seorang pemain yang di panggung depan jadi raja, sedang dimarahi oleh sutradara karena melakukan akting yang tidak seharusnya. pembawa acara yang di depan panggung begitu enerjik dan lucu, di belakang panggung kelelahan dan perlu oksigen tambahan. Di balik pameran mobil luar biasa, ada mereka yang makan ala kadarnya di belakang panggung.








Politik pun demikian. Yang kita lihat di TV, yang diberitakan di koran, itu adalah panggung depan. Panggung yang sudah dikondisikan. Sudah dirancang. Yang asli ada di panggung belakang. Tidak semua orang punya akses ke panggung belakang ini. Jadi kalau hanya dapat info dari media, apalagi yang abal-abal, tidak udah langsung meyakininya sebagai sebuah kebenaran. Apalagi pakai bertengkar dan unfriend segala, hahaha. 

Sumber ilustrasi: http://banjarmasin.tribunnews.com/2016/04/26/lihat-kehidupan-host-acara-di-belakang-panggung-irfan-hakim-sampai-hirup-oksigen; https://ekonomi.kompas.com/read/2016/04/13/150511630/.Damainya.Suasana.di.Balik.Panggung.Megah.IIMS; https://foto.tempo.co/read/45547/kesibukan-belakang-panggung-paris-fashion-week#foto-2

Hegemoni (2)

Salah satu contoh hegemoni paling jelas, sekaligus paling jarang disadari, adalah pemahaman bahwa wanita cantik itu (dalam konteks Indonesia) adalah berkulit putih. Banyak wanita, dari remaja hingga ibu-ibu, begitu berhasrat agar kulitnya putih. Paling tidak, sedikit lebih terang. Paling tidak putih wajahnya kalau memang tidak bisa sekujur badan.




Maka, beragam produk yang membantu agar wajah dan tubuh lebih putih pun laku keras. Dari produk impor hingga produk bikinan tetangga sendiri. Dari yang harganya jutaan, sampai produk berharga murah dan bisa diutang. Dari yang jelas nomor BPOM-nya hingga yang kita percayai begitu saja. Pokoknya bisa lebih putihlah.





Nah, siapa yang diuntungkan?

Pembuat produk, tentunya. Selama wanita Indonesia masih ingin putih, produk-produk itu akan tetap laku. Keuntungan tetap mengalir pada produsennya.

Media massa, tempat produk-produk itu diiklankan, tentu juga menangguk keuntungan.

Para artis, seleb, dan endorser (yang putih dari lahir, bukan karena pakai produk) juga sangat diuntungkan. Mereka di-hire mulai jadi bintang iklan, endorser, hingga brand ambassador.

Lantas, siapa yang buntung? Ya para wanita (sekarang termasuk pula pria) yang begitu terobsesi menjadi putih, lupa bahwa emak-bapaknya sawo matang atau bahkan biji kopi sangrai. Juga para pasangan yang dimintai dana untuk membeli produk-produk pemutih ini 😁. Yang buntung adalah kita yang ketika kulitnya agak gelapan sedikit udah langsung sedih, cemas, bingung dan minder.

Inilah hegemoni. Pihak yang kuat akan selalu mendengung-dengungkan cantik itu putih. Dengan cara itulah mereka mendapat dan memelihara keuntungannya.

Promosi dan kampanye serupa dilakukan di belahan dunia yang lain. di negara-negara yang mayoritas penduduknya berkulit putih, misalnya, warganya dibombardir dengan pemahaman bahwa kulit putih itu buruk. Puti itu pucat. Putih itu tidak menarik dan tidak sehat. Kulit sehat itu yang tan, yang gelap. Maka produk-produk tanning pun mendapatkan pasar yang baik di negara-negara ini. Intinya, masyarakat (konsumen, pasar) dibuat tidak puas dengan kondisi mereka, karena dengan cara itulah mereka bisa lebih mudah mempromosikan produknya. 

Demikian pula dengan cantik itu langsing. Demikian pula dengan gagah itu ya yang six pack dan berotot. Masih ingat iklan ini, kan?


Keyakinan ini membuat para pria mengeluarkan lebih banyak dana buat nge-gym, makan oat yang lebih mahal dari nasi, minum susu yang meningkatkan massa otot, menjalani diet keto dan lainnya. Bisa jadi, mereka yang bangga dan mensosialisasikan "buncit is the new sexy" sedang melawan hegemoni ini. Mereka yang komennya fokus ngomongin saya dan bagian akhir tulisan ini, bisa jadi masih terhegemoni 😂😂😂

sumber ilustrasi: http://kaltim.tribunnews.com/2018/04/24/bahan-alami-di-dapur-ini-bisa-bikin-kulit-putih-dalam-semalam; https://my.carousell.com/p/produk-pemutih-181966180/?hl=en; http://krimpemutihbaru.blogspot.com/2014/04/tje-fuk.html; https://www.sk-ii.com.my/en/product.aspx?name=whitening-source-clear-lotion&from=whitening

Hegemoni (1)

Pernahkah Anda bertanya mengapa seorang majikan memanggil asisten rumah tangganya (ART) langsung dengan namanya (bahasa Jawa: njambal), sementara sang ART selalu memanggil majikannya (adakah istilah lain yg lebih pas dan enak?) dengan panggilan hormat seperti Pak atau Bu? Di masa yang lebih lalu, saat itu ART disebut pembantu, sang ART bahkan memanggil majikannya dengan sebutan "ndoro". Si majikan wanita kadang dipanggil "nyonya" dan anak sang majikan dipanggil "raden" atau "den". Misalnya, baca di novel ini:



Si pembantu tidak pernah protes. Masyarakat pun tidak pernah memprotesnya. Bahkan mungkin membahasnya atau menganggapnya janggal pun tidak. Mereka menerimanya sepenuh hati. Teman2, inilah hegemoni. Penguasaan satu kelompok yang lebih kuat terhadap kelompok lain yg lebih lemah dengan dukungan norma dan pranata sosial. Makin tidak disadari adanya hegemoni ini, makin kuat cengkeramannya.

"Salim" kepada kiai, guru, orangtua, atau pihak lain yg kita anggap lebih dari diri kita (lebih tua, lebih pintar, memiliki kelas sosial lebih tinggi dan lainnya) adalah hehemoni juga. Kita langsung merasa tidak enak, seolah ada yg kita langgar, saat kita tidak salim ke kiai. Kita akan dipersepsi sebagai anak kurang ajar saat menolak salim kepada guru. Perasaan tidak dari dalam diri kita dan persepsi negatif dari lingkungan sekitar ini berasal dari internalisasi norma-norma yg sudah begitu kuat menguasai kita.



Salim ini bahkan berlaku pula di kalangan orangtua dan politisi. Di sini langsung terlihat siapa yang saat itu berposisi lebih kuat. "Saat itu" lo ya, karena politik itu cair dan petanya bisa berubah setiap saat.


Takut mengkritik Pemerintahan Jokowi, jangan-jangan adalah sebentuk hegemoni pula. Kita dibuat untuk percaya bahwa pemerintahan ini sangat baik, bahwa Jokowi sudah melakukan semua yang ia bisa dengan tulus untuk kebaikan seluruh rakyat Indonesia, dan karena itu mengkritik dia dan pemerintahannya menjadi hal yang "ora umum". Hal yang membuat pengkritiknya bisa dilabeli "tidak tahu terimakasih", "tidak tahu diri" dan label-label buruk lainnya. Ini adalah hegemoni. Setidaknya, benih-benih hegemoni.

Bahkan figur seterkenal dan lumayan memiliki kapital sosial seperti Sujiwo Tejo pun mengaku mulai takut mengkritik Jokowi karena para pendukung die-hard-nya akan langsung bereaksi.

Benih hegemoni (atau sudah merupakan hegemoni?) ini sangat kuat. Ini karena kelompok yang terhegemoni besar jumlahnya dan lantang bersuara. Mempertanyakan keabsahan, efektivitas, bahkan ketepatan sebuah kebijakan dalam pemerintahan Jokowi berisiko diserang bukan (saja) oleh Jokowi atau aparatus yang menjadi fokus kritik, namun oleh masyarakat pendukung Jokowi. Seolah kritik kepada aparatus pemerintahan Jokowi adalah kritik langsung kepada Jokowi itu sendiri yang langsung direspon dengan pembelaan.

Syukurlah masih ada orang dan kelompok yg mau dan berani mengkritik Jokowi hingga hegemoni ini tidak terlalu cepat mengkristal. Tentu kritikus ya, atau warga negara yang secara tulus mengritik, bukan kelompok "asal bukan Jokowi" atau "pokoknya Jokowi salah". Kelompok yang sedikit-sedikit salah Jokowi, atau segala ketidakberesan pastilah karena Jokowi, dan pokoknya Jokowi harus diganti adalah kelompok yang sudah terhegemoni pula, hanya saja hegemon-nya berbeda.

sumber ilustrasi:http://www.femina.co.id/article/pengakuan--eks-parasit-lajang;  http://www.tribunnews.com/nasional/2018/06/04/ini-alasan-gatot-nurmantyo-cium-tangan-sby; https://indonesiana.tempo.co/read/89702/2016/09/20/andrew.prasatya/relasi-kuasa-di-balik-cium-tangan