Selasa, 05 Februari 2019

Hegemoni (1)

Pernahkah Anda bertanya mengapa seorang majikan memanggil asisten rumah tangganya (ART) langsung dengan namanya (bahasa Jawa: njambal), sementara sang ART selalu memanggil majikannya (adakah istilah lain yg lebih pas dan enak?) dengan panggilan hormat seperti Pak atau Bu? Di masa yang lebih lalu, saat itu ART disebut pembantu, sang ART bahkan memanggil majikannya dengan sebutan "ndoro". Si majikan wanita kadang dipanggil "nyonya" dan anak sang majikan dipanggil "raden" atau "den". Misalnya, baca di novel ini:



Si pembantu tidak pernah protes. Masyarakat pun tidak pernah memprotesnya. Bahkan mungkin membahasnya atau menganggapnya janggal pun tidak. Mereka menerimanya sepenuh hati. Teman2, inilah hegemoni. Penguasaan satu kelompok yang lebih kuat terhadap kelompok lain yg lebih lemah dengan dukungan norma dan pranata sosial. Makin tidak disadari adanya hegemoni ini, makin kuat cengkeramannya.

"Salim" kepada kiai, guru, orangtua, atau pihak lain yg kita anggap lebih dari diri kita (lebih tua, lebih pintar, memiliki kelas sosial lebih tinggi dan lainnya) adalah hehemoni juga. Kita langsung merasa tidak enak, seolah ada yg kita langgar, saat kita tidak salim ke kiai. Kita akan dipersepsi sebagai anak kurang ajar saat menolak salim kepada guru. Perasaan tidak dari dalam diri kita dan persepsi negatif dari lingkungan sekitar ini berasal dari internalisasi norma-norma yg sudah begitu kuat menguasai kita.



Salim ini bahkan berlaku pula di kalangan orangtua dan politisi. Di sini langsung terlihat siapa yang saat itu berposisi lebih kuat. "Saat itu" lo ya, karena politik itu cair dan petanya bisa berubah setiap saat.


Takut mengkritik Pemerintahan Jokowi, jangan-jangan adalah sebentuk hegemoni pula. Kita dibuat untuk percaya bahwa pemerintahan ini sangat baik, bahwa Jokowi sudah melakukan semua yang ia bisa dengan tulus untuk kebaikan seluruh rakyat Indonesia, dan karena itu mengkritik dia dan pemerintahannya menjadi hal yang "ora umum". Hal yang membuat pengkritiknya bisa dilabeli "tidak tahu terimakasih", "tidak tahu diri" dan label-label buruk lainnya. Ini adalah hegemoni. Setidaknya, benih-benih hegemoni.

Bahkan figur seterkenal dan lumayan memiliki kapital sosial seperti Sujiwo Tejo pun mengaku mulai takut mengkritik Jokowi karena para pendukung die-hard-nya akan langsung bereaksi.

Benih hegemoni (atau sudah merupakan hegemoni?) ini sangat kuat. Ini karena kelompok yang terhegemoni besar jumlahnya dan lantang bersuara. Mempertanyakan keabsahan, efektivitas, bahkan ketepatan sebuah kebijakan dalam pemerintahan Jokowi berisiko diserang bukan (saja) oleh Jokowi atau aparatus yang menjadi fokus kritik, namun oleh masyarakat pendukung Jokowi. Seolah kritik kepada aparatus pemerintahan Jokowi adalah kritik langsung kepada Jokowi itu sendiri yang langsung direspon dengan pembelaan.

Syukurlah masih ada orang dan kelompok yg mau dan berani mengkritik Jokowi hingga hegemoni ini tidak terlalu cepat mengkristal. Tentu kritikus ya, atau warga negara yang secara tulus mengritik, bukan kelompok "asal bukan Jokowi" atau "pokoknya Jokowi salah". Kelompok yang sedikit-sedikit salah Jokowi, atau segala ketidakberesan pastilah karena Jokowi, dan pokoknya Jokowi harus diganti adalah kelompok yang sudah terhegemoni pula, hanya saja hegemon-nya berbeda.

sumber ilustrasi:http://www.femina.co.id/article/pengakuan--eks-parasit-lajang;  http://www.tribunnews.com/nasional/2018/06/04/ini-alasan-gatot-nurmantyo-cium-tangan-sby; https://indonesiana.tempo.co/read/89702/2016/09/20/andrew.prasatya/relasi-kuasa-di-balik-cium-tangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar