Rabu, 30 Januari 2019

Data, Metadata, dan Algoritma (2)

Di tulisan pertama saya uraikan tentang apa itu "data". Sekarang, apa itu metadata?


Sederhananya, metadata adalah "data tentang data". Lo, maksudnya?


Kita ambil contoh salah satu bentuk data: foto. Di dalam foto yang kita unggah ke media sosial, ada data tentang foto itu sendiri. Misalnya, kamera apa yang dipakai untuk mengambil foto tersebut? Kapan foto itu diambil? Di mana lokasi tempat foto itu diambil? Dengan software atau aplikasi apa foto itu diedit sebelum diposting? Apakah foto itu asli atau hasil montase? Bila dimontase, kapan foto itu dimontase?


Bicara tentang montase, saya jadi Roy Suryo. Beliau ini yang, sebelum menjadi Menpora di era Presiden SBY, paling sering dimintai pendapat oleh media massa untuk memastikan apakah sebuah foto asli atau tidak. Biasanya sih foto-foto "aduhai" yang membuat si pemilik foto jantungan.


Jangan salah, status di media sosial (termasuk tulisan yang sedang Anda baca ini), adalah sebentuk data. Dan, ada METADATA dalam status saya ini. Bentuk metadata atas status saya ini misalnya: dari IP address mana saya menuliskan artikel ini? Kapan saya menuliskannya? Di mana lokasi saya menuliskannya? Apakah artikel ini saya ketik di halaman Facebook atau saya copy-paste dari Word? Itu semua adalah data tentang data, yakni data tentang artikel yang sedang Anda baca ini.


Kita, sebagai si pembuat data, mungkin malah tidak ingat kapan dan di mana sebuah artikel, status, foto dan lainnya kita bikin. Tapi si owner, si platform media sosial (dan bentuk penyedia jasa lain di ranah online), ingat persis. Mereka menyimpan semua METADATA atas data yang kita setor. Kalau metadata ini dibuka oleh owner, maka identitas si pembuat data mudah saja dilacak. Kadang, metadata bisa dibuka tanpa harus meminta dibukakan oleh si owner. Ada aplikasi dan kemampuan tertentu yang bisa membuka metadata ini. Karena itu, jaringan penyebar hoax bisa ditelusuri. Tinggal mau atau tidak menelusurinya. Sampai mana penelusuran akan dilakukan, serta mana duluan yang ditelusuri. MCA dulu atau Saracen dulu? Atau barengan antara penyebar hoax yang dianggap pro pemerintah maupun yang dianggap kontra pemerintah?





Jadi, ketika Anda, misalnya, menyebarkan berita bohong pakai akun anonim, menggunakan bukan nama Anda dan tidak pakai avatar apa pun, serta Anda menuliskannya dari sebuah warnet kumuh di sebuah desa yang namanya tak ada di peta, atau dari ponsel murah buatan China dengan kartu SIM sekali pakai, Anda tidak boleh merasa aman. Jejak Anda bisa ditelusuri kapan saja.



Makin merasa tidak aman? Hahaha. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar